Hari ini, Sabtu 1 Oktober 2022, merupakan Tumpek Wayang.
Dirayakan setiap enam bulan sekali yakni Sabtu Kliwon wuku Wayang.
Bagi yang lahir wuku Wayang biasanya melakukan ruwatan yang disebut Sapuh Leger.
Ritual ini erat kaitannya dengan cerita Rare Kumara dan Bhatara Kala.
Secara mitologis dan sastra Bhatara Kumara lahir pada wuku Wayang yang juga kelahiran kakaknya Bhatara Kala.
“Sehingga karena lahir pada wuku yang sama itulah, maka Rare Kumara dianggap mamada-mada sehingga Bhatara Kala memiliki hak memakan adiknya,” kata Dosen Bahasa Bali Unud I Putu Eka Guna Yasa.
Ketika Kala meminta izin, Bhatara Siwa tidak mengizinkan memakan atau menadah adiknya dengan alasan masih kecil, dan Siwa baru mengijinkan jika Bhatara Kumara sudah besar.
“Karena sayang pada Bhatara Rare Kumara, seketika itu Bhatara Siwa menemuinya dan diberikan anugrah yaitu akan tetap kecil, sehingga tidak dimakan oleh kakaknya,” imbuh Guna.
Berikut cerita ringkasnya terkait cerita dilaksanakannya Sapuh Leger.
Diceritakan bahwa Bhatara Siwa atau Bhatara Guru memiliki dua orang putra yaitu Bhatara Kala dan Sang Hyang Rare Kumara yang lahir pada minggu yang sama yaitu wuku Wayang.
Kala marah karena adiknya memiliki otonan yang sama dan meminta izin kepada ayahnya untuk memakannya.
Siwa memberitahu Kala untuk menunggu selama tujuh tahun, karena adiknya masih bayi.
Dengan perasaan sedih Siwa memanggil Kumara dan memberitahu dia tentang maksud Kala, karena tidak bisa dicegah.
Kemudian Siwa mengutuk (pastu) Kumara untuk tetap kecil (kerdil) tidak pernah dewasa.
Tujuh tahun kemudian, Kala bermaksud akan memakan Kumara, dan Siwa meminta Kumara untuk mengungsi ke Kerajaan Kertanegara.
Akan tetapi, Kala mencium tapak kaki Kumara sehingga Kala pun mengejar Kumara.
Kala menemukan adiknya lari terbirit-birit, namun Kumara lolos melalui serangkaian tipuan.
Ia sempat bersembunyi dalam rimbun bambu (buluh), bersembunyi dalam kayu bakar yang tidak diikat, lolos melalui tungku perapian.
Raja Maya Sura yang bertahta di Kertanegara melindungi Rare Kumara, akan tetapi raja dan prajuritnya berhasil dikalahkan oleh Kala.
Hingga malam, Kumara sampai di tempat pertunjukan wayang kulit yang diadakan wuku Wayang dan meminta perlindungan pada sang dalang.
Dalang menyuruh dia bersembunyi di resonator gamelan gender.
Kala lalu datang ke sana dan memakan sesaji untuk pertunjukan wayang karena saking laparnya.
Dalang itu kemudian menegur Kala dan meminta supaya sesaji itu dikembalikan seperti semula.
Kala terpojok dan mengaku sangat berhutang kepada dalang, dan Kala menganugrahi sebuah mantra magis yang bisa memberi dalang kemampuan untuk membebaskan semua makhluk hidup dari kekotoran.
Sebagai balasannya, dalang menghaturkan sesaji sebagai ganti anak yang dilahirkan pada Tumpek Wayang.
Kala mengikuti dan kemudian pergi.
Kumara dibawa kembali ke kahyangan oleh Siwa dan Uma.
Menurut Guna Yasa, dalang merupakan Siwa yang ada di dunia, karena dalam kakawin Arjuna Wiwaha ada ungkapan seseorang yang suci hanya berbataskan kelir dengan Bhatara Siwa.
“Ahletan kelir sira saking sang hyang jagat karana. Kalau kelir yang dimaksud kita angggap sebagai kelir wayang, maka Bhatara Siwa yang dianggap berbatasan dengan kita akan dalang,” kata Guna.
Sehingga dalam sapuh leger di Bali jelas tirta dari dalang merupakan tirta Siwa.
Selain itu, dalang juga memainkan semua peran, baik jahat maupun baik.
“Dalang mengambil satu-satu tokoh wayang, nyiatang, ada yang menang ada yang kalah, sampai memasukkan ke keropak yang namanya kehidupan. Dari utpti mengambil wayang, nytiti ketika memainkan tokoh, pralina ketika mengembalikan tokoh ke kropak, sehingga peranan dalang sama dengan peranan Bhatara Siwa sehingga dalam kakawin Arjuna Wiwaha disebut Sang Hyang Jagat Karana. Jagat kan dunia, karana kan yg menyebabkan. Kenapa yang lahir wuku Wayang harus dapat tirta dari dalang, karena dalang simbol keduniaan yang bisa kita lihat secara sekala. Tapi secara filosofis kita nunas tirta Siwa, karena dalang nyekala kita lihat berperan sebagai Sang Hyang Jagat Karana,” imbuh Guna.
Selain Tumpek Wayang, hari ini juga hari Kajeng Kliwon.
Kajeng Kliwon merupakan hari raya yang diperingati setiap 15 hari sekali.
Merupakan hari raya berdasarkan pertemuan antara Tri Wara terakhir yakni Kajeng dengan Pancawara terakhir yakni Kliwon.
Hari raya ini dianggap keramat di Bali.
Terkait Pancawara Kliwon, dalam Lontar Sundarigama disebutkan:
Nihan taya amanah, kunang ring panca terane, semadi Bhatara Siwa, sayogia wong anadaha tirtha gocara, ngaturaken wangi ring sanggar, muang luwuring paturon maneher menganing akna cita.
Wehana sasuguh ring natar umah, sanggar, ring dengen, dening sega kepel duang kepel dadi atanding, wehakna ada telung tanding, iwaknia bawang jae.
Kang sinambat ring natar, Sang Kala Bucari.
Ring sanggar Bhuta Bucari.
Ne ring dengen, Sang Durga Bucari
Ika pada wehana labaan, nangken kaliyon, kinon rumaksa umah, nimitania. Pada anemu sadia rahayu. Kunang yan kala biyantara keliyon, pakerti tunggal kayeng lagi.
Artinya saat Pancawara Kliwon, merupakan payogan atau beryoganya Bhatara Siwa.
Pada saat ini sepatutnya melakukan penyucian dengan mempersembahkan wangi-wangian bertempat di merajan, dan di atas tempat tidur.
Sedangkan di halaman rumah, halaman merajan dan pintu keluar masuk pekarangan rumah, patut juga mempersembahkan segehan kepel dua kepel menjadi satu tanding, dan setiap tempat tersebut, disuguhkan tiga tanding yaitu:
Di halaman merajan, kepada Sang Bhuta Bhucari.
Di pintu keluar masuk, kepada Sang Durgha Bhucari.
Dan untuk di halaman rumah, kepada Sang Kala Bhucari.
Maksud persembahan berupa labaan setiap Kliwon ini untuk menjaga agar pekarangan serta keluarga semuanya mendapat perlindungan dan menjadi sempurna.
Sementara untuk Kajeng Kliwon juga disebutkan:
Kadi ring keliyon nemu atutan kewala tambahane sega warna limang warna, dadi awadah, ring dengen juga genahing caru ika, ika sanding lawang ring luur, aturane canang lenga wangi burat wangi, canang gantal, astawakna ring Durga Dewem, ne ring sor, ring Durga Bucari, Kala Bucari buta Bucari, palania ayu paripurna sira aumah, yania tan asiti mangkana I Buta Bucari, aminta nugeraha ring Bhatari Durga Dewem, mangerubadin sang maumah, angadakakan desti, aneluh anaranjana, mangawe gering sasab merana, apasang pengalah, pamunah ring sang maumah, muang sarwa Dewa kabeh, wineh kinia katadah da waduanira Sang Hyang Kala, nguniweh sewaduanire Dewi Durga, tuhunia mangkana, ayua sira alpa ring wuwus manai.
Artinya;
Sementara itu pada hari raya Kajeng Kliwon, untuk upakaranya sama seperti pada hari Pancawara Kliwon, hanya tambahannnya yaitu segehan lima warna lima tanding.
Pada samping kori sebelah atasnya dipersembahkan canang wangi-wangi, burat wangi, canang yasa, dan yang dipuja ialah Hyang Durga Dewi.
Yang disuguhkan di bawah untuk Sang Durga Bhucari, Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, dengan tujuan agar berkenan memberikan keselamatan kepada penghuni rumah.
Jika tidak melakukan hal itu, maka Sang Kala Tiga Bhucari akan memohon penugrahan kepada Bhatara Durga Dewi, untuk mengganggu penghuni rumah, dengan jalan mengadakan gering atau penyakit dan mengundang kekuatan black magic, segala merana, mengadakan pemalsuan, yang merajalela di rumah, yang mana mengakibatkan perginya para Dewata semuanya, dan akan memberi kesempatan para penghuni rumah disantap oleh Sang Hyang Kala bersama-sama dengan abdi Bhatara Durgha.
Dalam buku Pokok-pokok Wariga karya I. B. Suparta Ardhana disebutkan ada jenis Kajeng Kliwon Uwudan dan Kajeng Kliwon Enyitan.
Kajeng Kliwon Uwudan merupakan hari baik untuk menghidupkan ilmu hitam atau pengiwa.
Dan untuk Kajeng Kliwon Enyitan merupakan hari baik untuk membuat sasikepan (jimat) atau sesuatu yang berkekuatan gaib.
Kajeng Kliwon Uwudan ini adalah Kajeng Kliwon yang diperingati setelah Purnama, sedangkan Kajeng Kliwon Enyitan dilaksanakan setelah Tilem.
Selain itu adapula Kajeng Kliwon Pamelastali atau Kajeng Kliwon yang dilaksanakan saat hari Minggu wuku Watugunung.(*).
Sumber : https://bali.tribunnews.com/2022/10/01/kajeng-kliwon-bersamaan-dengan-tumpek-wayang-apa-makna-dan-yang-harus-dilakukan?page=all