Puputan Margarana adalah sebuah peristiwa sejarah perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan yang terjadi di Desa Marga, Kecamatan Margarana, Tabanan, Bali. Perang Puputan Margarana terjadi pada tanggal 20 November 1946 antara pasukan Indonesia melawan Belanda.
Istilah perang puputan artinya adalah berperang sampai pada titik darah penghabisan. Dalam ajaran agama Hindu, kata puputan sendiri mengandung makna moral, karena kematian seorang prajurit dalam kondisi berperang adalah sebuah kehormatan bagi keluarganya. Salah satu tokoh dalam Puputan Margarana Letkol I Gusti Ngurah Rai yang turut gugur dalam pertempuran tersebut.
Penyebab Puputan Margarana
Perang Puputan Margarana di Bali disebabkan oleh hasil Perjanjian Linggarjati antara Belanda dan Indonesia. Dalam Perjanjian Linggarjati, salah satu isinya menyebutkan bahwa pengakuan Belanda secara de facto atas eksistensi Negara Republik Indonesia hanya meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Setelah Perjanjian Linggarjati disepakati, maka pasukan Belanda harus meninggalkan daerah de facto itu paling lambat 1 Januari 1946. Itu artinya, Perjanjian Linggarjati tidak memasukan Bali sebagai bagian dari Republik Indonesia yang membuat rakyat Bali kecewa dan kemudian memicu perlawanan. Selain akibat dari Perjanjian Linggarjati, Perang Puputan Margarana juga dipicu oleh penolakan Letkol I Gusti Ngurah Rai yang saat itu menjadi Kepala Divisi Sunda Kecil terhadap Belanda untuk mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT). Kedatangan pasukan Belanda di Bali dengan tujuan ingin menyatukan Bali dengan wilayah Negara Indonesia Timur (NIT) lainnya turut menjadi alasan munculnya perlawanan.
Kronologi Puputan Margarana
Pasca Perjanjian Linggarjati ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 25 Maret 1947, Belanda memulai usahanya untuk mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT). I Gusti Ngurah Rai kemudian berangkat ke Yogyakarta yang kemudian menunjuknya sebagai Komandan Resimen Sunda Kecil dengan pangkat Letnan Kolonel. Letkol I Gusti Ngurah Rai yang berangkat ke Yogyakarta untuk melakukan konsultasi dengan markas besar TRI menolak untuk bekerja sama membentuk NIT. Diketahui selepas proklamasi kemerdekaan, Letkol I Gusti Ngurah Rai dan rekan-rekannya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sunda Kecil dimana I Gusti Ngurah Rai menjadi komandannya. Di bawah I Gusti Ngurah Rai, TKR Sunda Kecil memiliki kekuatan 13,5 kompi yang tersebar di seluruh kota di Bali dan dikenal dengan sebutan Ciung Wanara. I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya kemudian bertekad melakukan perlawanan terhadap Belanda. Pada 18 November 1946, markas pertahanan atau militer Belanda di Tabanan, Bali diserang secara habis-habisan. Hal ini membuat Belanda murka dan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mengepung Bali, khususnya Tabanan. Belanda mengirimkan pasukan ‘Gajah Merah’, ‘Anjing Hitam’, ‘Singa’, ‘Polisi Negara’, ‘Polisi Perintis dan tiga pesawat pemburu miliknya. Pasukan yang dikirim Belanda tersebut mulai melakukan serangan pada 20 November 1946 pukul 05.30 WITA, dengan menembaki area pasukan warga Bali. Kekuatan persenjataan yang dimiliki pasukan tersebut tergolong minim, sehingga mereka belum bisa melakukan aksi serangan balasan kepada pasukan Belanda. Sekitar pukul 09.00 WITA, pasukan Belanda yang kira-kira berjumlah 20 orang mulai mendekat dari arah barat laut, dan Beberapa saat kemudian terdengarlah suara tembakan. Sebanyak 17 orang pasukan Belanda ditembak mati oleh pasukan Ciung Wanara yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai. Setelah mengetahui jika pasukannya mati, Belanda melakukan aksi serangan dari berbagai arah. Namun, upayanya ini beberapa kali mengalami kegagalan karena pasukan Ciung Wanara berhasil melakukan aksi serangan balik. Tidak hanya itu, Belanda juga sempat menghentikan aksi serangannya selama satu jam. Beberapa saat kemudian, Belanda kembali menyerang dengan mengirimkan banyak pasukan serta pesawat terbang pengintai, kira-kira pukul 11.30 WITA. Serangan ini kembali berhasil dihentikan oleh pasukan Ciung Wanara. Akhirnya Belanda dan pasukannya mundur sejauh 500 meter ke belakang untuk menghindari pertempuran. Kesempatan ini digunakan oleh I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya untuk meloloskan diri dari kepungan musuh. Dalam perjalannya meloloskan diri, tiba-tiba Belanda mengirimkan pesawat terbang untuk memburu I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya. Untuk terakhir kalinya I Gusti Ngurah Rai menyerukan “Puputan!’, yang berarti habis-habisan. I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya bertempur melawan Belanda hingga titik darah penghabisan. Dikutip dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), I Gusti Ngurah Rai dan 1372 pejuang Dewan Perjuangan Republik Indonesia Sunda Kecil gugur dalam Puputan Margarana.
Dampak Puputan Margarana
Akibat kekalahan pasukan I Gusti Ngurah Rai pada Puputan Margarana, Belanda semakin mudah dalam meaksanakan tugasnya untuk mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT). Dalam peristiwa heroik itu, I Gusti Ngurah Rai dan 69 anggota pasukannya gugur akibat serangan tentara Belanda. Sedangkan di kubu lawan, sekitar 400 orang tewas dalam peperangan itu. Namun rakyat tidak berhenti berjuang karena usaha Belanda kembali gagal setelah Indonesia kembali menjadi negara kesatuan pada 1950. Hal ini karena pada 8 Maret 1950 pemerintah RIS dengan persetujuan DPR dan Senat RIS mengeluarkan Undang-undang Darurat No. 11 Tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Dengan undang-undang tersebut, maka negara-negara bagian atau daerah otonom seperti Jawa Timur, Jawa Tengah dan Madura bergabung dengan RI di Yogayakarta. Setelah itu semakin banyak negara-negara bagian atau daerah yang bergabung dengan RI, maka sejak 22 April 1950, negara RIS hanya tinggal tiga yaitu Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur. Semenjak itu setiap tanggal 20 November, masyarakat Bali akan memperingati Hari Puputan Margarana dan mengenang jasa-jasa pahlawan yang telah gugur membela bangsa dan negaranya.
#OrkestrasiDisdukcapil #DisdukcapilMerajutEkosistem
#SalamGemaSanti