Hari Raya Siwaratri kembali dilrayakan oleh umat Hindu di Bali pada Selasa, 9 Januari 2024. Malam Siwaratri menjadi momen untuk introspeksi diri atas dosa yang telah diperbuat selama hidup.
Lantas, apa makna dari Hari Raya Siwaratri? Simak serba-serbi pelaksanaan Siwaratri di Bali hingga kisah Lubdaka yang dikaitkan dengan hari raya tersebut.
Makna Hari Raya Siwaratri
Siwaratri dirayakan setiap setahun sekali berdasarkan kalender Isaka, yakni pada purwaning Tilem atau panglong ping 14 sasih kepitu (bulan ke tujuh). Siwaratri berasal dari kata ‘Siwa’ yakni manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam fungsinya sebagai pelebur atau pemralina. Sedangkan ‘Ratri’ berarti malam atau kegelapan.
Dengan demikian, Siwaratri dimaknai sebagai malam Siwa. Siwaratri menjadi momen perenungan suci, malam di mana umat Hindu mengevaluasi dan introspeksi diri atas perbuatan atau dosa-dosa.
Siwaratri juga dianggap sebagai malam peleburan dosa dengan melakukan brata semadi dan pemujaan terhadap Dewa Siwa. Pemaknaan ini tak lepas dari kisah Lubdaka yang ditulis oleh Mpu Tanakung.
Kisah Lubdaka Terkait Siwaratri
Lubdaka adalah seorang kepala keluarga yang menghidupi keluarganya dengan berburu binatang di hutan. Suatu hari, Lubdaka berburu ke tengah hutan.
Namun, hari itu tampak berbeda dari biasanya. Hingga menjelang sore, Lubdaka tak kunjung mendapatkan target buruannya. Tak terasa hari mulai gelap dan Lubdaka masih berjuang berburu di tengah hutan.
Lubdaka akhirnya memutuskan untuk istirahat sejenak di sebuah pohon bila yang tampak tua dan kokoh di pinggir telaga dengan air yang tenang. Agar tidak tertidur, ia memetik satu per satu daun bila dan menjatuhkannya ke bawah.
Daun bila tersebut mengenai Lingga atau simbol pemujaan terhadap Dewa Siwa yang ada di bawahnya. Ia tak menyadari bahwa malam itu adalah malam Siwaratri, di mana Dewa Siwa tengah melakukan yoga.
Saat itu, Lubdaka menyesali segala perbuatan jahat yang pernah dia lakukan semasa hidupnya. Dari atas pohon bila, ia bertekad untuk berhenti menjadi seorang pemburu.
Sejak saat itu, Lubdaka beralih profesi menjadi seorang petani. Namun, pekerjaan tersebut tak memberinya banyak kegesitan, sehingga tubuhnya mulai kaku dan sakit. Hal tersebut membuat Lubdaka akhirnya meninggal dunia.
Pelaksanaan Hari Siwaratri di Bali
Pelaksanaan Hari Siwaratri di Bali dirayakan menurut tradisi masing-masing daerah. Umumnya, rangkaian Siwaratri diawali dengan melakukan persembahyangan pada pagi hari. Beberapa orang juga merayakannya dengan monabrata atau berdiam diri dan tak berbicara. Ada pula yang berpuasa selama sehari penuh.
Pelaksanaan ini berlangsung mulai pagi hari tepatnya dari pukul 06.00 – 18.00 selama 12 jam. Setelah itu, umat Hindu melanjutkannya dengan mejagra atau tidak tidur selama semalam. Pelaksanaan mejagra berlangsung hingga pukul 06.00 keesokan harinya.
Dilansir dari laman resmi PHDI, pengendalian dalam bentuk jagra atau tidak tidur merupakan bentuk penyadaran pada diri untuk selalu terjaga, eling atau ingat, dan selalu sadar akan hakikat hidup sebagai manusia. Dengan selalu terjaga, manusia diharapkan melakukan introspeksi diri atau mulat sarira.
Adapun, pada hari Siwaratri, Dewa Siwa melaksanakan Yoga Samadhi untuk mendoakan alam semesta beserta isinya. Sehingga, pada malam (ratri) yang paling gelap inilah menjadi momen yang baik untuk melakukan sujud bhakti memuja dan memohon anugrah Dewa Siwa.
Swasti Rahina Suci Siwaratri
#DisdukcapilUntukSemua #NetralitasDisdukcapil #DisdukcapilDukungSuksesPemilu2024