Setiap 28 April, masyarakat khususnya masyarakat Bali senantiasa memperingati Hari Puputan Klungkung. Peringatan ini dilakukan guna mengenang perjuangan masyarakat Bali pada jaman dahulu ketika menyelamatkan tanah Bali dari penjajah khususnya pada perang puputan klungkung.
Adapun dalam perang tersebut, hampir semua masyarakat Bali di Klungkung berjuang untuk menjaga kedaulatan kerajaannya. Hal tersebut karena, masyarakat Bali sangat menjunjung tinggi kehormatan dan harga diri kerajaan dan tanah kelahirannya yakni Bali.
Namun apa yang dimaksud dengan Puputan Klungkung? Simak informasinya beserta sejarah dan makna Hari Puputan Klungkung di bawah ini.
Dikutip dari Makalah Kajian Peristiwa Sejarah Perang Puputan Klungkung 28 April 1908 karya Prof. A.A Bagus Wirawan dkk dan beberapa artikel lainnya, berikut merupakan pengertian, sejarah, dan makna Hari Puputan Klungkung.
Pengertian Puputan Klungkung
Kata ‘puputan’ dalam istilah Puputan Klungkung mengacu pada perang yang terjadi pada masa penjajahan belanda di Bali terkhusus di Klungkung yang merupakan pusat kerajaan di Bali pada saat itu. Istilah ‘puputan’ sendiri diperkenalkan lebih banyak oleh koran Belanda dengan istilah ‘de poepoetan’.
Sedangkan pada sumber lokal, hampir semua menuliskan perang dengan istilah ‘matelasan’ atau ‘diastu teka ring wasianti’ yang merepresentasikan keadaan peperangan dengan semangat tinggi melawan Belanda dengan segenap jiwa raga sampai mati. (Wipra Nguraha; 37a bait 2).
Adapun istilah puputan berasal dari akar kata ‘puput’ yang berarti selesai dan ‘matelasan’ yang berarti sampai habis atau habis-habisan. Adapun kedua istilah ini sama-sama merujuk pada rasa semangat dan pantang menyerah untuk melawan musuh.
Puputan memiliki makna penyelesaian suatu peran membela kemerdekaan dan kebenaran dari ancaman orang asing. Kekalahan tidak dengan penyerahan, melainkan dengan semangat peran dan ajaran suci yang diajarkan oleh Agama Hindu yakni ‘matelasan nindihin dharma’ (Ida Bagus Sidemen, (dkk):1983;146).
Sejarah Hari Puputan Klungkung
Adanya peringatan Hari Puputan Klungkung tentunya tidak terlepas dari adanya peristiwa perang Puputan Klungkung pada beratus-ratus tahun yang lalu.
Dikutip dari laman disdukcapil.klungkungkab.go.id, berdasarkan pernyataan dari Penglingsir Puri Agung Klungkung (Ida Dalem Semara Putra), dikatakan bahwa pada saat itu Kerajaan Klungkung sebagai pusat kerajaan di Bali adalah satu-satunya wilayah yang belum takluk oleh kekuasaan Kolonial Belanda.
Pada tanggal 13-16 April, Kolonial Belanda mulai mengadakan patrol keamanan di wilayah Kerajaan Klungkung. Namun hal ini tidak diterima oleh petinggi kerajaan dan masyarakat karena dianggap akan melanggar kedaulatan kerajaan.
Wujud dari penolakan tersebut dilakukan dengan penyerangan terhadap beberapa tentara Kolonial Belanda yang sedang berjaga. Mengetahui adanya penyerangan tersebut, pihak Belanda pun merasa tidak terima dan mengeluarkan ultimatum kepada Kerajaan Klungkung pada kekuasaan Kolonial Belanda paling lambat pada 22 April 1908.
Ancaman tersebut nyatanya tidak membuat Raja Ida Dewa Agung Jambe gentar, beliau justru mempersiapkan pasukan dari Kerajaan Klungkung untuk menghadapi pertempuran. Pada 21 April 1908, akhirnya pasukan Belanda mulai menyerang Gelgel, Satria, dan Semarapura. Dengan bersenjata keris dan tombak, pasukan Kerajaan dan masyarakat pun berjuang menghalau serangan kolonial Belanda.
Peperangan ini terjadi selama 6 hari lamanya, dengan serangan pasukan Klungkung yang baru bisa dipatahkan pada hari keenam, dan pihak Kolonial Belanda yang cukup banyak berjatuhan. Pada 27 April 1908, pihak kolonial Kembali mengirim pasukannya yang berlabuh di Kusamba dan Jumpai.
Masyarakat Klungkung pun berusaha melawan dan menghalau pasukan tersebut namun pada akhirnya Belanda berhasil mengepung istana Kerajaan Klungkung. Saat itulah, perang puputan di mulai.
Tepat pada 28 April 1908, Belanda berhasil masuk ke Istana dan menembus pertahanan Kerajaan Klungkung. Pertempuran pun terjadi, baik dari rakyat Klungkung hingga semua keluarga kerajaan termasuk Raja Ida Dewa Agung Jambe turun untuk bertempur. Tepat di depan Pemedal Agung, semua rakyat berpakaian putih mengorbankan jiwa raga untuk perang puputan (bertempur hingga habis-habisan) guna mempertahankan ibu pertiwinya.
Peristiwa inilah yang menjadi cikal bakal adanya peringatan Hari Puputan Klungkung pada 28 April. Adapun perayaan ini juga sekaligus bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun Kota Semarapura Klungkung.
Makna Hari Puputan Klungkung
Kepercayaan Hindu memiliki pengaruh besar dalam perlawanan perang puputan ini. Terjadinya peran puputan disejajarkan dengan zaman Kaliyuga. Masyarakat berperang dengan pemikiran puputan (penghabisan) yang didasari oleh wujud pembelaan pada tumpah darah, membela raja dan kerajaan, serta membela kebenaran.
Hal ini merupakan cerminan dari ajaran Agama Hindu berupa adanya sikap-sikap yang harus dimiliki oleh setiap ksatria. Tujuan perlawanan ini bukan hanya untuk mengusir penjajah, namun juga munculnya perlawanan bersifat surgawi.
Adapun adanya peringatan Hari Puputan Klungkung didasari oleh beberapa nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa perang Puputan Klungkung tersebut, antara lain:
1. Nilai Patriotik
Perjuangan seluruh rakyat Klungkung dalam mempertahankan wilayahnya dari penjajah merupakan peristiwa yang selalu terpatri dalam Nurani rakyat Klungkung. Nilai nasionalisme dan kepahlawanan ini sudah semestinya untuk diperingati dan dilestarikan oleh generasi muda dalam wujud menghargai jasa-jasa pahlawan dan membangun negeri dengan lebih baik di masa depan.
2. Nilai Ksatriya (Dharmaning Ksatriya Mahottama)
Dharmaning Ksatriya Mahottama memiliki arti “kewajiban seseorang berjiwa ksatria sungguh mulia”. Hal ini mengacu pada sikap ksatria yang telah dicontohkan oleh Raja Kerajaan Klungkung guna berperang dan berkorban nyawa demi memperjuangkan kedaulatan wilayah dan Kerajaan Klungkung. Sikap ini hendaknya juga dimiliki oleh generasi muda saat ini.
3. Nilai-Nilai Bela Negara/Kerajaan
Jika dahulu Indonesia masih berbentuk kerajaan sehingga rakyatnya menjaga dan membela kerajaan, maka saat ini Indonesia telah berbentuk sebuah Negara Kesatuan. Sehingga meskipun bentuknya telah berbeda, namun sikap bela negara/kerajaan yang dicontohkan oleh para leluhur di zaman yang lalu hendaknya juga diimplementasikan oleh generasi muda. Tidak harus dengan berperang dan menghalau serangan fisik terhadap negara, namun juga pada sikap-sikap yang dapat membangun negara ke arah yang lebih baik.
Demikianlah Informasi mengenai Hari Puputan Klungkung 28 April beserta pengertian, sejarah, dan maknanya. Semoga informasi ini dapat membuka wawasan Anda akan berbagai peristiwa sejarah terkhusus di Bali.
Selamat Memperingati Hari Puputan Klungkung ke 116 dan Hari Jadi Kota Semarapura ke 32
#DisdukcapilUntukSemua
#NetralitasDisdukcapil
#DisdukcapilDukungSuksesPemilu2024
#DisdukcapilDukungSuksesPilkada2024